Kamis, 10 Maret 2011

Jodoh Itu Menu Makan


Siang itu mata matahari melebar perlahan, seusai hujan yang mengguyur kota Surakarta. Aku mengambil tempat duduk di beranda musholla yang letaknya di sebelah timur kos. Aku mulai membaca sebuah novel—karangan seorang feminis kelahiran Fez, Maroko, berjudul Perempuan-perempuan Haremku—saat seorang sahabat mendekat, kemudian duduk di sampingku.

“Tempat nongkrong yang hebat,” katanya tersenyum kemudian menoleh ke seberang jalan, ada nada sindiran halus di dalam kata-katanya. Aku hanya tersenyum, paham bahwa yang ia maksud adalah bangunan dua lantai bercat hijau, ada dua orang gadis sedang berdiri di sana. Yah, itu adalah kos putri, dan posisi dudukku tidak memungkinkan untuk mengajukan pembelaan.

“Belum pernah pacaran?” sekarang dia bertanya dan tak ada kata yang bisa aku ucapkan kecuali ‘belum’ dan seulas senyuman. Kemudian dia bercerita tentang petualangan gonta-ganti pacarnya yang berakhir dengan pertunangannya selama dua tahun ini. Aku melirik cincin yang melingkar manis di jarinya.

Katanya, “masing-masing orang beda prinsip, ya?” hah, sekarang dia memberikan sendiri jawaban atas gelontoran tanya dan cerita yang telah ia lepaskan—sedari tadi.

Dalam senyum aku berkesimpulan, jodoh itu seperti menu makan. Ia adalah juga merupakan rizki Allah. Ia akan datang, tapi sebenarnya tak perlu terlalu dipikirkan. Aku memilih untuk tidak mencemaskan menu makan apa yang akan Allah berikan dua hari lagi. Entah ikan, ayam, sapi, atau hanya sayur-sayuran saja. Toh semuanya adalah rizki yang harus disyukuri. Dan mencemaskannya, aku rasa tidak untuk saat ini. Aku akan memilihnya ketika sudah terhidang. Tapi jangan salah, jangan kira aku tidak mengusahakannya. Aku mencari uang, aku mencari penghasilan untuk membeli menu makanan. Begitu pula dengan jodoh, aku sedang menyiapkan diri—untuk segera membeli menu makanan itu, tapi apakah ikan atau ayam? Aku akan menentukannya besok ketika waktunya makan datang.

Entah sehari, dua bulan, atau setahun lagi…


Ah, kau bercerita tentang menu makan yang akan kau santap dua tahun lagi. Kurasa itu terlalu berlebihan sahabat. Bagaimana kalau selera makanmu berubah esok, atau kau sudah merasa bosan dengan menu itu? atau barangkali Allah mentakdirkan untukmu menu makanan yang lainnya? Kau terlalu cepat mencemaskan yang seharusnya kau cemaskan besok—sahabat. Kau terlalu cepat menentukan—mungkin kalimat itu lebih tepat—padahal kau belum siap makan. Hehe

Sahabat, aku ingin mengatakan itu padamu, namun aku masih tersenyum dan kau beranjak pergi. “Mau cari makan,” katamu.

Sebenarnya satu lagi yang ingin kusampaikan, seorang teman yang tidak pernah pacaran sepertiku, hari minggu kemarin berta’aruf dengan wanita yang tidak pernah ia kenal sebelumnya, dan kau tahu, tiga bulan lagi—kalau Allah menentukan bahwa itu adalah jodohnya—maka hari bahagia pernikahan itu akan berlangsung, lalu bagaimana denganmu yang sudah dua tahun bertunangan? Kapan kau akan menikah?... karena aku takut menanyakannya, jadi aku tulis saja di blog (page) ini. Hihihi…

Source: http://www.facebook.com/notes/syabli-za/ibadah-adalah-kimaksnya-cinta/194039447295999#!/note.php?note_id=183195791713698

Tidak ada komentar:

Posting Komentar